
Seratus hari perjalanan Pemerintahan Presiden Prabowo dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka Menuai validasi capaian dan penuh intrik. Program yang menjadi Andalan dalam Jargon Politik Menuju Indonesia Emas yakni Penyediaan Makan Siang Gratis telah resmi berjalan dan dimulai dari berbagai titik dibelahan Bumi Indonesia. Berbagai Pihak mengklaim bahwa ini merupakan langkah Konkrit dari Nawacita Presiden Prabowo yang sebelumnya telah mencanangkan Program ini dengan sangat matang. Namun, beberapa pihak lain menyoal adanya berbagai Kebijakan yang sangat timpang tindih dengan Jargon yang selama ini di gaungkan.

Intrik dalam Roda Pemerintahan sempat mencuat akibat aturan regulasi yang terkesan serampangan yang dilakukan oleh Menteri ESDM Bahlil Lahadalia terkait Pengaturan Distribusi Gas LPG 3KG / Gas Melon yang menyebabkan kelangkaan hingga antrian yang merenggut nyawa. Dalam Aturannya, Bahlil menyebut bahwa Distribusi LPG 3 Kg hanya boleh di distribusikan pada Pangkalan Resmi Milik Pemerintah. Langkah ini ia ambil, pasca terdapat temuan Harga yang tidak wajar dalam Penjualan LPG 3 Kg yang sejatinya merupakan barang subsidi dan diperuntukan untuk masyarakat tidak mampu. Kebijakan yang menuai kegaduhan publik ini kemudian di respon langsung oleh Presiden Prabowo yang menginstruksikan bahwa Pengecer atau Agent diperbolehkan kembali menjual LPG 3 Kg.
Sorotan Publik kembali menguat saat Presiden Prabowo Subianto meneken Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 2025 yang berisi tentang Efisiensi Anggaran. Melalui Kebijakan itu Presiden Prabowo menargetkan penghematan anggaran sebesar Rp. 306,69 Triliun. Menteri Keuangan Sri Mulyani dalam konferensi persnya menegaskan bahwa Inpres ini tidak akan berdampak terhadap Pemutusan hubungan kerja (PHK) di Lingkungan Kementrian atau Lembaga Terkait akibat Efisiensi anggaran. “Kami memastikan bahwa langkah efisiensi dalam hal ini rekonstruksi dari anggaran – anggaran kementrian dan lembaga tidak berdampak terhadap tenaga honorer” ujarnya seperti dilansir dalam laman tempo (14/02/2025).

Disisi lain, Efisiensi Anggaran yang menjamah diseluruh Kementrian, Lembaga, Juga pada APBD mulai memiliki dampak yang cukup signifikan. Dilansir dalam laman tempo, terdapat beberapa Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang terpaksa mengakhiri kontrak kerja honorer akibat kebijakan Efisiensi Anggaran yang diberlakukan oleh Pemerintah. Hal serupa juga mengarah pada APBD di sejumlah daerah. Salah satunya yang terjadi di Jember Jawa Timur, terdapat 16 Tenaga Honorer Penjaga Palang Pintu Kereta Api yang diberhentikan akibat Anggaran Daerah tidak mencukupi untuk memperpanjang Kontrak mereka. Beberapa Penyiar RRI yang terpaksa tidak diperpanjang Kontraknya, Anggaran Pembangunan serta Pemeliharaan Jalan di Daerah yang terkena dampak menghasilkan banyak jalan berlubang yang tidak di benahi, Tunjangan Kinerja Dosen yang di Tolak Pemerintah, serta berbagai Guru di daerah yang juga terancam Pembayaran Honornya.
Efisiensi Anggaran ini juga menyasar pada Kementrian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Kemendiktisaintek). Dilansir dalam laman detik.com, Kemendiktisaintek yang semua mendapatkan total pagu anggaran 2025 Rp. 56,6 Triliun terkena Pemangkasan sebesar 14,3 Triliun. Hal ini berimbas dengan UKT Pendidikan pada Kampus Dibawah naungan Kemendiktisaintek. Menteri Pendidikan Tinggi Sains dan Teknologi yang kala itu menjabat, Satryo Soemantri menyebutkan bahwa ada kemungkinan Perguruan Tinggi menaikan Biaya Kuliah. “Karena kalau BOPTN ini di potong separuh, maka ada kemungkinan perguruan tinggi harus menaikkan uang kuliah.” Ujarnya (12/02/2025). Tak hanya itu, Imbas Pemotongan Anggaran ini tidak hanya mengacu pada Kampus Negeri, namun juga dapat terjadi pada Kampus Swasta.


Pengamat Kebijakan Publik, Rocky Gerung menyoroti sejumlah kebijakan yang ia nilai penuh dilematis. Ia mengungkap bahwa Penghematan ini justru perlu dipertanyakan lebih dalam. “Apapun yang menyebabkan kemundiran di dalam penghematan, itu bukan penghematan namanya. Terutama di sector yang memang memerlukan pemborosan, seperti Pendidikan.” Ungkapnya seperti dilansir dalam suara.com (14/02/2025). Ia juga menekankan bahwa Pendidikan merupakan Pondasi dari sebuah Negara, yang kemudian jika negara melakukan pemangkasan dalam anggaran Pendidikan artinya Negara memiliki kekeliruan. “Jadi Kalau wilayah – wilayah keadilan, perlindungan HAM, Pendidikan itu di pangkas, itu artinya negara tidak paham bahwa tujuan bernegara kita adalah untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dari Kemiskinan dan Penindasan” Tegasnya.
Dilematis Kebijakan ini kemudian menghasilkan Gelombang Massa Aksi yang menyerukan Tagar Indonesia Gelap. Gelombang Massa ini kemudian menuntut agar Presiden Prabowo kembali mengevaluasi perihal Program Kerjanya yang dinilai kurang memuaskan hingga bahkan menimbulkan permasalahan baru. Gelombang Massa yang di dominasi oleh Ribuan Mahasiswa diseluruh daerah ini menyerukan dengan segera agar Pemerintah mengambil langkah tegas perihal Problematika yang hadir saat kebijakan – kebijakan ini dimuat.
Tagar yang dihasilkan dari Gelombang Massa aksi ini sejatinnya adalah bentuk Kekecewaan mendalam atas Sekelumit Masalah yang di timbulkan oleh Lembaga Negara. Dari Kebijakan yang menyebutkan tentang Efisiensi namun disisi lain, Pejabat Negara masih hidup dengan penuh Gemerlap. Dilematis ini juga menguat akibat banyaknya kementrian yang ada sekaligus Penambahan Beberapa Utusan Khusus Presiden yang dinilai banyak pihak merupakan hal yang tidak perlu.


Dari sisi Akademis, kita tentu perlu menemukan Benang merah dan menyikapi Sekelumit Permasalahan dalam Negeri ini secara sistematis. Berbagai Kebijakan yang menjadi Intrik di ranah publik tentu harus di telaah dengan baik. Pemangkasan atau Efisiensi yang di lakukan pemerintah tentu hal yang sangat diperlukan demi menekan Surplus APBN Negara, namun Kebijakan yang dilakukan Oleh Pemerintah dalam Menekan Surplus APBN ini tentu harus di kaji dengan baik apakah memiliki dampak signifikan dalam memajukan atau memundurkan Peradaban. Kebijakan yang tentu sangat Problematik jika Efisiensi yang diterapkan demi Menghemat APBN justru berdampak sangat Krusial bagi masyarakat, baik di Ranah Ketahanan Pangan, Pendidikan, Kesehatan, ataupun Anggaran Pemerintah Daerah.