
Korupsi di Indonesia merupakan masalah multidimensi yang tidak hanya berkaitan dengan individu, tetapi juga dengan sistem, budaya, dan kelembagaan. Berbagai studi menunjukkan bahwa faktor utama penyebab korupsi meliputi lemahnya integritas aparat, rendahnya transparansi, dan budaya impunitas yang mengakar dalam birokrasi. Selain itu, ketidakmampuan sistem hukum dalam menindak tegas pelanggaran juga berkontribusi signifikan terhadap tingginya angka korupsi.

Salah satu celah utama dalam penegakan hukum di Indonesia adalah lemahnya independensi lembaga penegak hukum, terutama di kalangan hakim. Gaji hakim yang stagnan selama lebih dari satu dekade, seperti yang tercatat dalam Peraturan Pemerintah Nomor 94 Tahun 2012, menyebabkan ketimpangan antara beban kerja dan kompensasi yang diterima. Hal ini menciptakan potensi bagi praktik korupsi, karena hakim mungkin tergoda untuk menerima suap guna memenuhi kebutuhan hidup mereka. Solidaritas Hakim Indonesia (SHI) bahkan mengkritik ketidakadilan ini dan menyarankan agar gaji hakim disesuaikan dengan kondisi ekonomi saat ini.
Presiden Prabowo Subianto mengusulkan peningkatan gaji bagi hakim dan aparat penegak hukum lainnya sebagai solusi untuk memperkuat independensi dan mencegah korupsi. Ia mencontohkan negara-negara maju di mana hakim memiliki gaji tinggi dan fasilitas yang memadai, sehingga mereka tidak rentan terhadap intervensi atau suap. Prabowo berpendapat bahwa dengan meningkatkan kesejahteraan aparat penegak hukum, kualitas hidup mereka akan terjamin, dan potensi korupsi dapat ditekan

Namun, beberapa pihak meragukan efektivitas pendekatan ini. Indonesia Corruption Watch (ICW) menilai bahwa meskipun remunerasi telah diberikan kepada aparat penegak hukum, praktik korupsi masih marak terjadi. ICW mencatat bahwa sepanjang tahun 2023, terdapat banyak kasus Operasi Tangkap Tangan (OTT) yang melibatkan pejabat pemerintah, termasuk hakim agung, yang menunjukkan bahwa masalah korupsi tidak hanya berkaitan dengan rendahnya gaji, tetapi juga dengan sistem pengawasan dan akuntabilitas yang lemah .
Selain itu, survei Lembaga Survei Indonesia (LSI) menunjukkan bahwa tingkat kepercayaan publik terhadap lembaga penegak hukum, seperti KPK dan Polri, masih rendah. Hal ini mengindikasikan adanya masalah dalam transparansi, akuntabilitas, dan integritas lembaga-lembaga tersebut, yang tidak dapat diselesaikan hanya dengan meningkatkan gaji aparat.


Penting untuk dicatat bahwa korupsi juga dipengaruhi oleh faktor sosial dan budaya. Studi oleh Wachs et al. (2018) menunjukkan bahwa tingkat kepercayaan sosial yang rendah dan jaringan sosial yang terfragmentasi dapat meningkatkan risiko korupsi. Di Indonesia, budaya patronase dan nepotisme seringkali memperkuat praktik korupsi, karena individu lebih mengutamakan loyalitas pribadi daripada kepentingan publik.
Etika dalam pemberantasan korupsi harus menjadi pondasi utama yang tidak hanya diterapkan secara legal-formal, tetapi juga secara moral dan budaya. Dalam konteks etika publik, korupsi merupakan pelanggaran terhadap tanggung jawab moral dan sosial seorang pejabat publik. Etika pelayanan publik menekankan pentingnya kejujuran, integritas, keadilan, dan tanggung jawab kepada masyarakat. Ketika pejabat melakukan korupsi, mereka merusak kepercayaan publik dan menciptakan ketimpangan sosial yang luas. Oleh karena itu, pendidikan etika di lingkungan birokrasi perlu dikuatkan agar para aparat tidak hanya takut pada sanksi hukum, tetapi juga memiliki komitmen batin untuk tidak menyalahgunakan kekuasaan.
Dalam perspektif Islam, korupsi atau suap termasuk dalam perbuatan yang sangat tercela dan dilarang keras. Al-Qur’an secara tegas menyatakan larangan memakan harta secara batil dan menggunakan harta tersebut untuk mempengaruhi para hakim atau pemimpin demi kepentingan pribadi (QS. Al-Baqarah: 188). Rasulullah SAW juga bersabda: “Allah melaknat pemberi suap dan penerima suap dalam hukum.” (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi). Dalam konteks ini, suap dan korupsi bukan hanya pelanggaran hukum negara, tetapi juga merupakan dosa besar yang membawa kerusakan pada masyarakat dan meruntuhkan keadilan yang menjadi salah satu tujuan utama syariat Islam (maqashid al-syari’ah).


Islam juga mendorong adanya sistem pemerintahan yang adil, bersih, dan amanah. Para pemimpin dan pejabat dituntut untuk menjadi khadim al-ummah (pelayan umat), bukan penguasa yang menyalahgunakan wewenangnya untuk keuntungan pribadi. Dalam sejarah pemerintahan Islam klasik, seperti di masa Umar bin Khattab, pengawasan terhadap pejabat sangat ketat dan kekayaan mereka diaudit secara berkala. Hal ini menunjukkan bahwa penegakan hukum harus sejalan dengan pembinaan moral dan spiritual. Maka dari itu, solusi pemberantasan korupsi di Indonesia tidak cukup hanya pada aspek struktural seperti kenaikan gaji, tetapi harus ditopang oleh pembinaan etika dan nilai agama yang kuat dalam sistem pendidikan dan budaya birokrasi.
Meskipun peningkatan gaji bagi hakim dan aparat penegak hukum lainnya dapat menjadi langkah awal dalam memperkuat independensi dan mencegah korupsi, hal tersebut tidak cukup jika tidak disertai dengan reformasi sistemik. Reformasi tersebut mencakup peningkatan transparansi, akuntabilitas, dan integritas lembaga penegak hukum, serta perubahan budaya birokrasi yang mendukung praktik-praktik koruptif. Tanpa langkah-langkah tersebut, upaya pemberantasan korupsi di Indonesia akan menghadapi tantangan besar.