
Kurikulum memiliki posisi sentral dalam sistem pendidikan sebagai panduan utama dalam menyelenggarakan proses pembelajaran. Sebagaimana dijelaskan oleh Lawton (1989), kurikulum tidak hanya berisi materi ajar, tetapi juga nilai-nilai, struktur sosial, serta arah pengembangan peserta didik. Di Indonesia, kurikulum menjadi instrumen kebijakan pendidikan yang menentukan arah kualitas sumber daya manusia (SDM). Ia menetapkan kompetensi inti, tujuan pembelajaran, hingga evaluasi yang menjadi tolok ukur kemajuan pendidikan nasional.

Dalam praktiknya, kurikulum di Indonesia mengacu pada berbagai pendekatan teori, seperti subject-centered curriculum, learner-centered curriculum, dan problem-centered curriculum. Teori essentialism dan perennialism banyak mendasari kurikulum pada masa Orde Baru (Kurikulum 1975 dan 1984), sedangkan teori progressivism mulai nampak pada Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) tahun 2004 dan Kurikulum 2013. Kurikulum Merdeka yang diperkenalkan beberapa tahun terakhir lebih menonjolkan pendekatan konstruktivistik dan humanistik, mengedepankan diferensiasi pembelajaran dan penguatan karakter.
Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (kini Kemdikbudristek) telah mengganti kurikulum nasional setidaknya tujuh kali sejak kemerdekaan, yaitu 1947, 1964, 1968, 1975, 1984, 1994, 2004, 2006 (KTSP), 2013, dan terakhir Kurikulum Merdeka. Menurut laporan resmi Kemendikbud (2022), alasan perubahan kurikulum sering dikaitkan dengan perkembangan zaman, kebutuhan industri, serta penyesuaian terhadap sistem global. Namun, pergantian ini kerap tidak diikuti dengan kesiapan ekosistem pendidikan, terutama guru dan infrastruktur pembelajaran.

Banyak pakar pendidikan menyoroti pergantian kurikulum yang terlalu sering sebagai bentuk kebijakan reaktif, bukan transformatif. Prof. Suyanto, mantan Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah, dalam wawancara dengan Kompas (2021) menyebut bahwa “perubahan kurikulum di Indonesia terlalu bersifat politis dan tidak berbasis evaluasi empiris yang jelas.” Begitu pula menurut Dr. H.A.R. Tilaar (alm), yang menekankan bahwa kurikulum mestinya tumbuh dari akar kebudayaan masyarakat dan kebutuhan lokal, bukan hanya mengikuti tren global atau kehendak elit kekuasaan.

Pergantian kurikulum yang kerap terjadi berdampak langsung pada proses pembelajaran di sekolah. Guru harus terus-menerus beradaptasi dengan pendekatan dan perangkat ajar baru, yang belum tentu selaras dengan kondisi lapangan. Berdasarkan studi Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan (LPMP, 2020), sekitar 62% guru di daerah masih belum menguasai sepenuhnya Kurikulum 2013 saat Kurikulum Merdeka mulai diperkenalkan. Hal ini menciptakan ketimpangan mutu pembelajaran antar daerah dan memperlebar kesenjangan akses pendidikan berkualitas.
Ketidakstabilan kurikulum menyebabkan guru mengalami kelelahan kognitif dan kebingungan dalam melaksanakan tugasnya. Setiap pergantian kurikulum membutuhkan adaptasi metode, evaluasi ulang perangkat ajar, serta pelatihan baru yang tidak selalu diimbangi dengan dukungan optimal dari pemerintah. Dalam laporan Kompas.id (2022), Ketua Umum Ikatan Guru Indonesia (IGI) Muhammad Ramli Rahim menyatakan, “Setiap ganti menteri, guru dipaksa mengikuti kurikulum baru. Belum selesai satu fase, sudah berganti kebijakan.” Kondisi ini berdampak pada ketidakkonsistenan dalam pengajaran dan menurunkan motivasi guru, terutama di daerah dengan akses pelatihan yang terbatas.
Ketika kurikulum berubah terlalu cepat, kesinambungan pembelajaran terganggu. Siswa tidak mendapatkan proses belajar yang utuh dan terstruktur dari tahun ke tahun. Hal ini diamini oleh Prof. Dr. H.A.R. Tilaar (alm), pakar pendidikan nasional, yang menegaskan dalam bukunya Manifesto Pendidikan Nasional bahwa “perubahan kurikulum yang tergesa tanpa evaluasi mendalam akan melahirkan kekacauan dalam pembelajaran dan membingungkan peserta didik.” Ia menyebut bahwa seharusnya kurikulum berjalan secara spiral—bertahap dan bertumbuh—bukan bersifat revolusioner dan tambal sulam.


Banyak kritik dilontarkan terhadap praktik politisasi kurikulum. Pakar pendidikan dari Universitas Negeri Jakarta, Prof. Dr. Fasli Jalal, dalam wawancara dengan Media Indonesia (2021) mengatakan, “Kurikulum seharusnya menjadi panduan pedagogis, bukan alat simbolik untuk menunjukkan keberhasilan pemerintahan tertentu.” Ia menambahkan bahwa orientasi jangka pendek dan pencitraan membuat kebijakan kurikulum sering kali tidak tuntas dalam implementasi. Hal ini diperkuat oleh kritik Dr. Darmaningtyas, pendiri Institut Pendidikan dan Demokrasi, yang menilai bahwa kurikulum telah menjadi “perpanjangan tangan kekuasaan” alih-alih refleksi kebutuhan peserta didik.
Selain persoalan isi, tantangan utama kurikulum juga terdapat pada aspek implementasi, khususnya di daerah tertinggal. Menurut data BPS (2023), sekitar 47% sekolah di wilayah 3T (Terdepan, Terluar, Tertinggal) belum memiliki akses internet stabil untuk menjalankan kurikulum digital berbasis platform. Kurikulum Merdeka, misalnya, mengandalkan portal digital seperti Merdeka Mengajar, yang sulit diakses oleh sekolah-sekolah di daerah. Ini menunjukkan bahwa perubahan kurikulum belum memperhitungkan secara utuh kondisi geografis dan kesenjangan teknologi.
Jelas bahwa reformasi kurikulum di Indonesia perlu dilakukan secara partisipatif, berjangka panjang, dan berbasis riset. Keterlibatan guru, kepala sekolah, akademisi, hingga komunitas lokal sangat penting untuk merancang kurikulum yang adaptif dan kontekstual. Pemerintah juga diharapkan lebih konsisten dalam menerapkan kurikulum, tidak bergantung pada siklus kekuasaan atau agenda politik sesaat. Pendidikan adalah investasi jangka panjang, dan kurikulum adalah peta yang akan menentukan kemana arah bangsa ini dibawa.
