
Program Makan Bergizi Gratis (MBG), Satu nawacita Pemerintahan yang digadang-gadang sebagai upaya pemenuhan gizi dan pemberdayaan ekonomi lokal — kini berada di persimpangan tajam antara tujuan sosial dan fakta lapangan. Dilansir dalam laman kemenkeu.go.id Diketahui bahwa Pemerintah sebelumnya mengalokasikan anggaran yang sangat besar untuk program ini dalam APBN 2025, dengan pagu awal sebesar Rp71 triliun, sebuah angka yang sejak awal menimbulkan ekspektasi tinggi soal tata kelola dan akuntabilitas. Dengan Angka yang cukup Fantastis seperti ini, tentu menjadi sorotan tajam untuk publik.


Disisi yang lain, kegaduhan publik kemudian dipicu oleh rangkaian kejadian keracunan massal yang terkait dengan menu MBG. Dilansir dalam laman detik.news Badan Gizi Nasional (BGN) melaporkan sampai periode pelaporan terakhir tercatat 6.517 orang mengalami gangguan pencernaan/keracunan yang diduga terkait MBG. Insiden ini kemudian memaksa DPR dan pemerintah daerah membuka sidang dan investigasi. Angka-angka ini memaksa publik mempertanyakan apakah aliran dana besar untuk MBG diikuti sistem pengawasan mutu pangan yang memadai. “Sebaran kasus terjadinya gangguan pencernaan atau kasus di SPPG terlihat dari 6 Januari sampai 31 Juli itu tercatat ada kurang lebih 24 kasus kejadian. Sementara dari 1 Agustus sampai malam tadi itu ada 51 kasus kejadian” Ujar Kepala Badan Gizi Nasional (BGN), Dadan Hindayana dalam Rapat Kerja Bersama dengan Komisi IX DPR RI, di senayan.
Problematika tata kelola anggaran dan standar operasional penyediaan makanan dalam hal ini Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) tidak luput dari sorotan. Kantor Staf Presiden melaporkan bahwa dari ribuan dapur yang dibentuk hanya sebagian sangat kecil yang memiliki Sertifikat Laik Higienis dan Sanitasi data yang kemudian menjadi bahan sorotan DPR karena menunjukkan rapuhnya mekanisme jaminan mutu di lapangan.”Jadi singkatnya, SPPG itu harus punya SLHS dari Kemenkes sebagai upaya mitigasi dan pencegahan keracunan pada program MBG. Ya ini kan contoh bagaimana satu program itu nggak bisa berdiri sendiri” Ujar Kepala Kantor Staff Presiden, M. QOdari dalam keterangannya seperti dilansir dalam news.detik.com Beberapa anggota legislatif bahkan menyatakan kekhawatiran bahwa dokumen kelayakan semacam SLHS berpotensi dipalsukan atau “diperjualbelikan”, sehingga sertifikat saja tidak menjamin keamanan makanan. Tendensi ini yang kemudian membuat publik semakin bingung akan kebijakan yang dicanangkan dalam aspek meningkatkan kesejahteraan namun mulai terbaca arah dan tujuannya.


Dari ranah keahlian, ahli gizi mengkritik aspek konten dan penyusunan menu serta praktik implementasi. Dalam rapat – rapat publik, dr. Tan Shot Yen dan pakar gizi lain menyerukan agar menu MBG tidak sekadar “tampil” menarik tetapi juga menjamin kandungan gizi, kesesuaian dengan pola makan lokal, dan keamanan bahan baku kritik yang mengemuka setelah ditemukannya menu seperti burger dan spageti yang dipersoalkan kualitasnya di beberapa lokasi. Kritik ini bukan hanya soal rasa; ini soal apakah belanja publik untuk MBG benar-benar mengarah pada peningkatan gizi anak-anak.

Politik anggaran kini mulai memasuki arena. DPR dalam hal ini mendesak evaluasi dalam Penyelenggaraan Program Makan Bergizi Gratis. Beberapa fraksi meminta moratorium penambahan dapur, sementara Kementerian Keuangan menyatakan siap mengevaluasi penyerapan anggaran MBG mengingat data realisasi yang sempat rendah dibanding pagu. Tekanan politik juga muncul ketika publik dan legislator menuntut pertanggung jawaban apakah penganggaran skala besar itu wajar bila risiko kesehatan masif belum teratasi? Mencuat pula wacana memotong atau mengalihkan sebagian anggaran jika perbaikan tata kelola terbukti terjadi penyalahgunaan.
Perlu di cermati bahwa Persoalan MBG bukan sekadar “kesalahan teknis” di dapur. Program ini secara nyata memperlihatkan kelemahan tata kelola pengeluaran Keuangan Negara yang besar tanpa kapasitas pengawasan setara. Alokasi Rp71 triliun tentu memerlukan Kontrol yang sangat tinggi dengan standar sertifikasi yang kredibel dan terverifikasi. Audit keuangan juga diperlukan dalam sistematika operasional independen, skema penargetan penerima yang efisien, serta sistem pelaporan insiden real-time yang menghubungkan dinas kesehatan, sekolah, dan regulator pangan. Tanpa itu, risiko pemborosan anggaran dan bahaya publik akan berulang. Jika Pengucuran Anggaran ini tidak diperhatikan dengan baik, tentu akan kontras dengan Kebijakan Pemerintah yang berniat untuk melakukan Efisiensi Keuangan Negara namun disisi lain malah menghamburkan keuangan Negara melalui Program yang memiliki Banyak celah untuk bermain.


Tidak dapat dipungkiri bahwa program MBG juga mengandung dimensi politis yang kuat. Dugaan Kebijakan Politis ini tentu tidak main-main jika pengawasan terkait Program ini tidak diperkuat atau bahkan tidak di evaluasi dengan baik dengan memperhatikan cadangan keuangan negara. Program ini digulirkan dalam periode awal pemerintahan baru, sehingga sebagian pengamat menilai pelaksanaannya cenderung terburu-buru untuk menunjukkan capaian politik, bukan semata demi kesiapan teknis dan kualitas implementasi. Beberapa pakar kebijakan publik juga menyoroti bahwa MBG rawan menjadi “ladang politik anggaran” karena besarnya nilai proyek dan melibatkan banyak pihak di daerah. Ketika kasus keracunan muncul, pemerintah berada dalam dilema: menghentikan program akan menimbulkan keguncangan politik, namun melanjutkan tanpa evaluasi menyeluruh berpotensi memperbesar risiko terhadap kesehatan publik dan pemborosan anggaran. Oleh karena itu, diperlukan langkah evaluatif yang mendalam, bukan sekadar penyesuaian teknis, agar kebijakan ini benar-benar berfungsi sebagai program gizi nasional, bukan sekadar proyek politik berbiaya besar.