Keselarasan Deep Learning dan Deep Teaching

Prof. Dr. Abdul Muti memperkenalkan pendekatan pembelajaran mendalam (deep learning) sebagai strategi untuk menjawab tantangan pendidikan abad ke-21. Pendekatan ini menekankan pada pembelajaran yang mengasah enam kompetensi global, yaitu karakter, kewarganegaraan, kolaborasi, komunikasi, kreativitas, dan berpikir kritis. Di Indonesia, konsep tersebut disesuaikan menjadi delapan dimensi profil lulusan, meliputi keimanan dan ketakwaan, kewargaan, kolaborasi, komunikasi, kreativitas, penalaran kritis, kemandirian, serta kesehatan. Modifikasi ini bertujuan membentuk peserta didik yang tidak hanya cerdas secara akademik, tetapi juga berkarakter kuat dan siap menghadapi dinamika kehidupan.

Transformasi pendidikan yang ditawarkan Abdul Muti menekankan pentingnya pembelajaran berbasis rasa ingin tahu (inquiry learning), pengaktifan daya pikir murid (activating cognitive), serta penerapan pengetahuan dalam konteks kehidupan nyata. Dengan strategi ini, siswa tidak hanya memahami materi secara konseptual, tetapi juga mampu mengaitkan pengetahuan dengan pengalaman sehari-hari dan merefleksikan nilai-nilainya. Proses pembelajaran diharapkan tidak berhenti pada hafalan, tetapi melahirkan pemahaman mendalam dan keterampilan aplikatif.

Kerangka deep learning dibangun di atas tiga prinsip utama, yaitu berkesadaran (mindful), bermakna (meaningful), dan menggembirakan (joyful). Prinsip berkesadaran menekankan kesadaran siswa akan relevansi pengetahuan dalam hidupnya, sehingga memicu motivasi intrinsik dan pengembangan kemampuan metakognisi. Prinsip bermakna memastikan bahwa pengetahuan yang dipelajari memiliki nilai praktis dan bermanfaat, sementara prinsip menggembirakan menciptakan iklim belajar positif, apresiatif, serta menantang dengan keterlibatan aktif siswa.

Pendekatan ini juga menekankan kepemimpinan siswa (student agency) melalui tiga variabel penting: voice, choice, dan ownership. Siswa diberi ruang untuk menyuarakan ide, memilih cara belajar yang sesuai, serta merasa memiliki proses pembelajaran. Hal ini mencerminkan perubahan paradigma dari pembelajaran yang berpusat pada guru menjadi berpusat pada siswa, yang secara tidak langsung menumbuhkan tanggung jawab dan kemandirian dalam belajar.

Untuk mendukung penerapan deep learning, Fullan, Quinn, dan McEachen merumuskan empat elemen pendukung, yaitu praktik pedagogis, kemitraan pembelajaran, lingkungan belajar, dan pemanfaatan teknologi digital. Guru diharapkan mampu mengembangkan strategi mengajar adaptif, membangun kolaborasi dengan orang tua dan komunitas, serta menciptakan ruang belajar fisik maupun virtual yang mendorong eksplorasi. Teknologi digital juga dipandang penting untuk memperkaya pengalaman belajar dan memfasilitasi interaksi yang bermakna.

Keberhasilan konsep ini tidak terlepas dari deep teaching, yaitu kompetensi guru dalam merancang dan memfasilitasi pembelajaran yang mendalam secara intelektual, emosional, dan spiritual. Guru menjadi pemantik berpikir kritis dengan mengajukan pertanyaan produktif dan mendorong siswa untuk menemukan pola atau solusi baru. Seperti dikatakan Ary Ginanjar Agustian, “siswa bukan ember yang diisi, melainkan api yang dinyalakan.” Dengan sinergi antara deep learning dan deep teaching, pendidikan diharapkan mampu melahirkan generasi berkarakter, kreatif, dan siap menjawab tantangan zaman.