Kontroversi Pajak dan Zakat, Potensi Timbulkan salah Kaprah Umat

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati memantik perdebatan publik setelah menyatakan bahwa membayar pajak memiliki nilai sosial yang sama seperti zakat dan wakaf. Ucapan tersebut disampaikan dalam Sarasehan Nasional Ekonomi Syariah Refleksi Kemerdekaan RI, yang digelar pada 13 Agustus 2025. Pernyataan ini sontak memicu diskusi luas mengenai batasan antara kewajiban negara dan kewajiban agama.

“Dalam setiap rezeki dan harta yang kamu dapatkan ada hak orang lain. Caranya hak orang lain itu diberikan ada yang melalui zakat, wakaf, ada yang melalui pajak, dan pajak itu kembali kepada yang membutuhkan,” ujar Sri Mulyani, seperti dikutip dari laman news.ddtc.co.id (13/08/2025). Ia menambahkan bahwa pajak digunakan untuk membiayai bantuan sosial, akses kesehatan, pendidikan, dan subsidi pertanian, sehingga tujuannya sama-sama untuk keadilan sosial.

Pernyataan tersebut menuai reaksi beragam. Sebagian pihak menilai langkah Sri Mulyani adalah strategi komunikasi fiskal untuk meningkatkan kepatuhan pajak. Namun, sejumlah pakar menilai penyamaan pajak dengan zakat dapat menimbulkan kebingungan. Direktur Jakarta Institut, Agung Nugroho, meminta Sri Mulyani meralat ucapannya. “Zakat memang bisa menjadi pengurang pajak jika disalurkan melalui lembaga resmi. Namun menyamakan keduanya berpotensi menyesatkan publik, karena ibadah yang sakral berubah menjadi pungutan negara,” ujarnya seperti dilansir dalam rmol.id (15/08/2025).

Pandangan serupa disampaikan akademisi Ekonomi Syariah dari Institut Binamadani Indonesia, Eko Suryawadi, M.Si., AWP. Ia menilai pernyataan Sri Mulyani memiliki dua sisi. “Dari sisi fikih, zakat dan pajak berbeda sumber, hukum, dan penyalurannya. Menyamakan keduanya berpotensi menimbulkan salah kaprah. Namun positifnya, Menteri Keuangan mungkin ingin mengangkat zakat sebagai instrumen ekonomi setara pajak, agar umat membayar pajak dengan rasa tanggung jawab sosial,” paparnya. Ia juga menyebut bahwa Perbedaan Sumber dan Penyaluran ini mengacu pada Halal atau haramnya sumber dana serta Pengalokasiannya yang memang sesuai peruntukannya atau tidak. “karena sumber dan penyalurannya sangat berbeda. Kalau Zakat diambil dari harta yang halal dan disalurkan pada mereka yang berhak di mana diatur dalam Al Quran dan hadist Nabi SAW.” Tegasnya (26/08/2025).

Eko juga menilai narasi tersebut tidak lepas dari kondisi fiskal yang tengah tertekan. “Pemerintah menghadapi defisit APBN, subsidi tinggi, dan utang meningkat. Ada indikasi narasi zakat digunakan untuk memperkuat kepatuhan pajak, agar masyarakat melihat pajak sebagai kewajiban yang setara dengan ajaran agama,” imbuhnya.

Laporan APBN 2025 mencatat defisit negara diproyeksikan melebar menjadi 2,78 persen PDB atau sekitar Rp662 triliun, lebih tinggi dari target UU APBN sebesar Rp616,2 triliun. Di sisi lain, kebijakan efisiensi anggaran memicu kritik lantaran sejumlah lembaga pengawas, seperti Ombudsman RI, justru mengalami pemangkasan signifikan. Situasi ini menambah sorotan publik terhadap transparansi dan efektivitas penggunaan pajak.

Kontroversi ucapan Sri Mulyani menyoroti urgensi komunikasi publik yang hati-hati. Penyamaan pajak dan zakat tanpa penjelasan detail justru berisiko memicu salah persepsi dan Bola Panas terhadap Kementrian Keuangan yang dianggap Ugal – ugalan dalam melakukan komunikasi Publik bahkan berlindung dalam Narasi Keagamaan. Para pakar menekankan pentingnya pemisahan dimensi spiritual zakat dan fungsi administratif pajak, sembari memastikan akuntabilitas negara dalam penggunaan dana publik. Transparansi dan bukti nyata manfaat pajak dinilai menjadi kunci membangun kepatuhan masyarakat, tanpa harus mengaburkan prinsip agama.

Dalam Aspek ini, Jika memang penggunaan narasi ini ditujukan untuk menekan pajak negara tentu perlu diadakan Evaluasi hingga bahkan audit disegala sektor yang bukan hanya menayangkan jumlah pemasukan pajak namun apa penyebab pendapatan Pajak dapat berkurang. Penyebab ini juga bukan ditujukan untuk menyudutkan masyarakat yang mungkin enggan membayar akibat citra Pemerintah yang kian buruk dimata publik, utamanya terkait Pelayanan kepada masyarakat hingga timbal balik atas pajak yang dibayarkan itu sendiri.