Petaka Tambang Nikel: Menyingkap Dampak Penambangan Nikel di Bumi Pertiwi

Tambang, Satu kata yang memberikan berbagai macam dampak dengan berbagai kontroversi yang ada. Terdapat berbagai macam akses penambangan diantaranya Batubara, dan yang sempat menjadi atensi publik ialah perihal Penambangan Nikel. Penambangan nikel di Indonesia merupakan bagian dari strategi nasional untuk mengembangkan industri kendaraan listrik dan energi baru terbarukan. Sejak larangan ekspor bijih nikel mentah tahun 2020, Indonesia mendorong hilirisasi industri yang menghasilkan nilai tambah dan meningkatkan investasi asing, terutama dari Tiongkok. Data dari Kementerian ESDM menunjukkan bahwa sektor ini menyumbang miliaran dolar ke dalam PDB nasional dan menciptakan puluhan ribu lapangan kerja, terutama di Sulawesi dan Maluku.

Penambangan nikel menyebabkan kerusakan lingkungan signifikan. Deforestasi besar-besaran terjadi di Sulawesi, Halmahera, dan Weda Bay, menyebabkan hilangnya hutan tropis dan habitat flora-fauna endemik. Hal ini memperparah risiko bencana alam seperti banjir dan tanah longsor serta menurunkan kualitas lingkungan hidup. Meski secara nasional terlihat menguntungkan, tidak semua masyarakat lokal menikmati manfaat ekonomi secara merata. Penelitian menunjukkan bahwa banyak komunitas sekitar tambang tidak menerima kompensasi yang layak, serta kehilangan akses terhadap lahan, air bersih, dan ruang hidup yang sehat. Kasus-kasus seperti di Morowali dan Konawe Utara mencerminkan ketimpangan distribusi manfaat dan kerugian, di mana masyarakat adat dan petani lokal menjadi kelompok yang paling terdampak.

Kegiatan tambang juga mencemari air dan udara. Studi menunjukkan peningkatan kadar logam berat dalam air di sekitar tambang, berdampak langsung pada kesehatan masyarakat—dari gangguan kulit hingga penyakit saluran pencernaan. Sumber penghidupan tradisional seperti pertanian dan perikanan ikut terdampak, membuat masyarakat kehilangan mata pencaharian. Penambangan nikel juga tentu menyebabkan deforestasi besar-besaran, degradasi tanah, dan pencemaran lingkungan. Studi akademik yang dilakukan oleh Universitas Hasanuddin dan Universitas Khairun menyebutkan bahwa pembukaan tambang menyebabkan hilangnya tutupan hutan tropis secara signifikan di Pulau Obi, Halmahera, dan Sulawesi. Hal ini mengganggu ekosistem, mengancam keanekaragaman hayati, serta meningkatkan risiko bencana seperti banjir dan tanah longsor.

Greenpeace Indonesia menyebutkan bahwa “industri nikel hijau hanyalah ilusi” apabila proses produksinya bergantung pada pembangkit listrik tenaga batubara. Sementara itu, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) menyoroti lemahnya pengawasan dan celah regulasi yang dimanfaatkan korporasi untuk menghindari tanggung jawab lingkungan. WALHI juga menolak narasi ‘transisi energi hijau’ yang dijadikan legitimasi untuk pembukaan lahan besar-besaran. Mereka menuntut adanya moratorium tambang dan audit lingkungan independen terhadap seluruh izin tambang yang aktif.

Masalah sosial muncul karena penggusuran lahan, konflik dengan masyarakat adat, serta kurangnya transparansi dalam proses izin tambang. Banyak masyarakat lokal merasa termarjinalkan dan tidak mendapat kompensasi yang layak. Ketimpangan ini menciptakan ketegangan sosial yang berlarut-larut, sebagaimana tercermin di beberapa wilayah tambang di Sulawesi Tenggara.

Bola panas tentang tambang kemudian mencuat akibat memasuki dekat dengan wilayah konservasi yang diakui oleh Dunia, yakni Raja Ampat. Kasus tambang nikel di Raja Ampat memicu protes besar-besaran karena kawasan tersebut merupakan cagar alam dan geopark global. Eksploitasi di sana dinilai bertentangan dengan prinsip konservasi. Meskipun pemerintah akhirnya mencabut izin beberapa perusahaan, kasus ini menyoroti lemahnya seleksi izin tambang serta pentingnya melibatkan suara masyarakat lokal dalam pengambilan keputusan. Eksplorasi dan eksploitasi nikel di wilayah ini menimbulkan penolakan luas dari masyarakat dan aktivis lingkungan. Namun kasus ini memperlihatkan pentingnya seleksi izin yang lebih ketat serta perlindungan wilayah adat dan konservasi.


Jika kita telisik dalam konsen Islam, kita menemukan perusakan alam dengan berbagai dalih tentu menjadi sebuah hal keniscayaan. “(Ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, “Aku hendak menjadikan khalifah di bumi.” Mereka berkata, “Apakah Engkau hendak menjadikan orang yang merusak dan menumpahkan darah di sana, sedangkan kami bertasbih memuji-Mu dan menyucikan nama-Mu?” Dia berfirman, “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.” Q.S Al-Baqoroh ayat 30. Melalui Ayat ini secara jelas bahwa Islam tidak menolak tentang perusakan di muka bumi, dimana manusia yang mememungkinkan menjadi actor Utama dalam perusakan yang terjadi di muka bumi. Selanjutnya, kita juga wajib menjaga kelestarian alam. Islam melarang perusakan lingkungan secara menyeluruh (QS. Ar-Rum:41) serta menganjurkan keadilan dalam pemanfaatan sumber daya. Prinsip syariah menuntut kegiatan ekonomi, termasuk tambang, tidak menimbulkan kerusakan (mafsadah) dan tetap berpihak pada kemaslahatan umum.

Penambangan ni tentu menjadi dilematis karena satu sisi menonjolkan nikel sebagai komoditas strategis masa depan untuk energi hijau, namun di sisi lain menutup mata terhadap kenyataan bahwa proses ekstraksinya justru menimbulkan “bencana ekologis” yang sistemik. Dalam banyak hal, resume ini menyoroti bahwa manfaat ekonomi lebih banyak bersifat elitis, dinikmati korporasi besar dan pemangku kepentingan, sementara masyarakat lokal justru menanggung beban sosial dan ekologis tanpa perlindungan memadai. Ini mencerminkan wajah ketimpangan struktural yang kerap dibungkus dengan dalih nasionalisme energi dan industrialisasi.