Tarif 32% AS Ancam Ekspor Indonesia: Bagaimana Nasib Ekonomi Syariah?

Pada awal 2025, Amerika Serikat menerapkan tarif bea masuk sebesar 32% terhadap berbagai produk impor dari negara berkembang, termasuk Indonesia. Kebijakan ini merupakan bagian dari langkah proteksionisme ekonomi yang diambil oleh pemerintah AS untuk mendorong pertumbuhan industri domestik. Indonesia sebagai salah satu mitra dagang utama di Asia Tenggara terdampak cukup signifikan, terutama pada sektor ekspor unggulan seperti tekstil, alas kaki, dan komoditas berbasis sumber daya alam.

Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) dan Kementerian Perdagangan RI, ekspor Indonesia ke Amerika Serikat mengalami penurunan sebesar 12,6% dalam kuartal pertama setelah tarif diberlakukan. Industri padat karya, khususnya tekstil dan garmen, menjadi yang paling tertekan. Beberapa perusahaan melaporkan penurunan order, pemutusan hubungan kerja (PHK), dan penyesuaian kapasitas produksi. Hal ini juga berdampak pada sektor logistik, UMKM pemasok, dan petani bahan baku.

Ketidakseimbangan neraca perdagangan akibat menurunnya ekspor ke Amerika dikhawatirkan menekan nilai tukar Rupiah terhadap Dolar AS. Dalam wawancara yang dilakukan oleh Kompas Ekonomi dengan Ekonom Senior INDEF, Dr. Ahmad Heri Firdaus, disebutkan bahwa “tarif tinggi ini secara langsung menggerus surplus perdagangan dan meningkatkan permintaan terhadap dolar, yang pada akhirnya menekan stabilitas moneter nasional.” Jika tidak ditangani secara sistemik, hal ini dapat menimbulkan inflasi impor dan mempersempit ruang fiskal pemerintah.

Ekonomi syariah, yang kini semakin tumbuh melalui sektor riil berbasis halal, UMKM syariah, dan lembaga keuangan mikro syariah (BMT, Koperasi Syariah), turut terkena imbas. Sektor-sektor ini banyak bergantung pada rantai pasok industri ekspor-impor. Dengan berkurangnya ekspor, pendapatan pelaku UMKM syariah menurun. Penelitian dari Journal of Islamic Economics Studies tahun 2024 menunjukkan bahwa keterbatasan akses pasar luar negeri dapat menghambat pertumbuhan usaha syariah, memperlambat inklusi keuangan, dan memperbesar risiko kredit mikro berbasis syariah.

Sebagai respons jangka menengah, Indonesia perlu mendorong diversifikasi pasar ekspor. Negara-negara di Timur Tengah, Asia Selatan, dan Afrika Utara merupakan pasar potensial untuk produk halal dan industri syariah. Dalam simposium yang diadakan oleh Bank Indonesia Institute, ekonom Dr. Fadillah Nasution menyatakan bahwa “penguatan hubungan perdagangan syariah lintas negara OKI dan promosi produk halal Indonesia bisa menjadi solusi konkret untuk mengurangi ketergantungan terhadap pasar AS.”

Pemerintah Indonesia perlu segera mengambil langkah-langkah strategis. Pertama, memperkuat peran diplomasi dagang dan renegosiasi tarif melalui WTO maupun perjanjian bilateral. Kedua, memberi insentif fiskal dan non-fiskal kepada sektor terdampak seperti pengurangan pajak ekspor, subsidi logistik, dan perluasan pembiayaan berbasis syariah. Ketiga, mengembangkan infrastruktur digital dan logistik untuk memudahkan penetrasi pasar non-tradisional secara efisien dan kompetitif.

Momentum tekanan tarif ini dapat menjadi katalis untuk mendorong kemandirian ekonomi syariah. Pemerintah bersama OJK, Bank Syariah Indonesia, dan BAZNAS perlu memperkuat integrasi sistem keuangan syariah dengan sektor riil. Penyaluran pembiayaan produktif harus lebih diarahkan kepada pelaku usaha ekspor berbasis halal dan industri kreatif syariah. Selain itu, penguatan sistem penjaminan dan mitigasi risiko syariah harus menjadi agenda prioritas.

Tarif 32% dari Amerika Serikat memberi tekanan besar terhadap struktur ekonomi Indonesia, khususnya sektor ekspor dan industri padat karya. Dampaknya turut menjalar ke sektor ekonomi syariah yang kini tengah tumbuh sebagai alternatif pembangunan ekonomi nasional. Oleh karena itu, Indonesia perlu melakukan reposisi pasar, memperkuat kerja sama internasional, dan mendesain kebijakan adaptif yang mendukung ketahanan ekonomi berbasis syariah. Dengan strategi yang tepat, tekanan ini bisa berubah menjadi peluang untuk membentuk struktur ekonomi yang lebih mandiri, inklusif, dan resilien di masa depan.