
Pelemahan tajam nilai tukar rupiah yang terjadi pada April 2025 menjadi sorotan utama dalam dinamika ekonomi Indonesia. Pada 8 April 2025, rupiah mencapai titik terendahnya di Rp16.850 per dolar AS bahkan sampai menyentuh R0. 17.050 untuk beberapa menit, melampaui level krisis moneter 1998. Penurunan ini disertai dengan anjloknya Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) sebesar 9,2% saat pembukaan pasar, memicu penghentian perdagangan sementara selama 30 menit. Kondisi ini mencerminkan tekanan besar dari faktor eksternal, terutama kebijakan tarif impor baru yang diberlakukan oleh Amerika Serikat.
Melansir laman reuters.com Salah satu pemicu utama pelemahan rupiah adalah kebijakan Presiden AS Donald Trump yang menaikkan tarif impor terhadap produk Indonesia sebesar 32%, serta terhadap produk Tiongkok hingga 104%. Langkah ini memicu kekhawatiran global akan perang dagang yang lebih luas, meningkatkan permintaan terhadap dolar AS sebagai aset aman, dan menekan mata uang negara berkembang, termasuk rupiah. Kondisi ini diperparah oleh persepsi negatif investor terhadap stabilitas ekonomi domestik Indonesia. Bank Indonesia (BI) merespons situasi ini dengan intervensi agresif di pasar valuta asing, termasuk di pasar spot, non-deliverable forward (NDF), dan pasar obligasi sekunder. Meskipun suku bunga acuan tetap di 5,75% untuk menjaga stabilitas, BI menghadapi keterbatasan dalam menurunkan suku bunga lebih lanjut karena risiko arus keluar modal asing. Langkah-langkah ini bertujuan untuk menstabilkan nilai tukar dan menjaga kepercayaan investor terhadap pasar keuangan Indonesia.


Dari sisi perdagangan, dampak tarif AS terhadap ekspor Indonesia cukup signifikan. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati memperkirakan bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia dapat terpangkas hingga 0,5% akibat kebijakan tarif tersebut. “Kita harus terus bersikap sangat hati-hati… Pengeluaran harus dibuat lebih efisien, tepat sasaran, dan efektif dalam mendukung pertumbuhan di sisi moneter” Ujarnya dilansir dalam laman reuters.com (10/4/2025). Meskipun demikian, pemerintah melihat adanya peluang untuk meningkatkan ekspor ke negara-negara lain di luar AS, memanfaatkan pelemahan rupiah yang membuat produk Indonesia lebih kompetitif. Namun, pelemahan rupiah juga berdampak negatif terhadap daya beli masyarakat dan dunia usaha. Kenaikan harga barang impor akibat depresiasi rupiah menyebabkan inflasi biaya yang menekan konsumsi domestik. Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Jawa Tengah menyatakan bahwa situasi ini mengancam kelangsungan dunia usaha dan pertumbuhan ekonomi nasional.
Pemerintah Indonesia memilih pendekatan diplomatik dalam menghadapi kebijakan tarif AS, dengan mengirim delegasi ke Washington untuk negosiasi. Langkah ini dianggap lebih strategis dibandingkan retaliasi perdagangan yang dapat merugikan perekonomian nasional. Anggota Komisi X DPR RI Muhammad Kholid menyebut bahwa Indonesia harus menerapkan kembali langkah langkah tegas terkait ini. Ia juga menyebut bahwa perlunya untuk menyiapkan diversifikasi ekspor ke kawasan seperti Eropa, Afrika, Timur Tengah, dan negara-negara BRICS. “Indonesia harus menegosiasikan kembali skema Generalized System of Preferences (GSP) dan berbagai hambatan non-tarif agar tetap bisa mengakses pasar Amerika Serikat”tegasnya dilansir dalam laman emedia.dpr.go.id (8/4/2025). Selain itu, pemerintah juga mempertimbangkan deregulasi, pemotongan pajak, dan pelonggaran kebijakan impor sebagai upaya mitigasi dampak negatif terhadap ekonomi domestik.
Disisi yang sama, Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) RI, Ahmad Muzani, melihat pelemahan rupiah sebagai momentum strategis untuk mendorong peningkatan ekspor Indonesia ke pasar non-tradisional. “Negara-negara seperti Asia Tenggara lainnya dan beberapa negara di Afrika serta Timur Tengah bisa menjadi target baru bagi produk kita. Kita perlu melakukan pendekatan yang lebih agresif dalam memasarkan komoditas unggulan kita” Ungkapnya dilansir dalam laman indonesia.go.id (8/4/2025).

Secara keseluruhan, pelemahan rupiah saat ini mencerminkan kompleksitas tantangan ekonomi global dan domestik yang dihadapi Indonesia. Meskipun terdapat upaya stabilisasi dari otoritas moneter dan pemerintah, diperlukan langkah-langkah strategis jangka panjang untuk memperkuat fundamental ekonomi, meningkatkan daya saing ekspor, dan menjaga kepercayaan investor. Krisis ini juga menjadi momentum bagi Indonesia untuk merefleksikan kebijakan ekonomi dan memperkuat ketahanan terhadap guncangan eksternal di masa depan. Pemerintah juga perlu mengambil tindakan serta langkah konkrit untuk melakukan antisipasi atas dampak pada Perekonomian dalam negeri, utamanya dalam meningkatkan kualitas Ekspor dalam Negeri serta Jalinan Komunikasi yang kuat. Indonesia juga perlu mencari alternatif pangsa pasar lain dan berkolaborasi dengan sektor ASEAN untuk menangani bersama terkait situasi ini.

Para ekonom dan pengamat dalam negeri memberikan berbagai pandangan dan kritik terhadap pelemahan nilai tukar rupiah yang terjadi pada April 2025. Mereka menyoroti bahwa meskipun faktor eksternal seperti kebijakan tarif impor AS berperan signifikan, kelemahan struktural dalam perekonomian domestik juga turut memperburuk situasi. Melansir laman unmuhjember.ac.id Ekonom dari Universitas Muhammadiyah Jember menekankan bahwa krisis ini mencerminkan tekanan berat pada perekonomian Indonesia dan menyarankan peningkatan konsumsi lokal sebagai solusi darurat. “Kondisi perekonomian Indonesia saat ini sangat berat dengan beban utang yang banyak, juga ditambah dengan kebijakan perekonomian yang tidak disukai oleh pasar, seperti adanya Danantara” Ujar Dr. Eko Budi Satoto, M.MT. (8/4/2025).
Di sisi lain, masyarakat Indonesia mulai beralih ke investasi emas sebagai bentuk perlindungan terhadap nilai kekayaan mereka. Penjualan emas di Galeri24, misalnya, meningkat tiga kali lipat menjadi lebih dari 65 kg per hari, menunjukkan kekhawatiran masyarakat terhadap stabilitas ekonomi.

Secara keseluruhan, pelemahan rupiah saat ini mencerminkan kompleksitas tantangan ekonomi global dan domestik yang dihadapi Indonesia. Meskipun terdapat upaya stabilisasi dari otoritas moneter dan pemerintah, diperlukan langkah-langkah strategis jangka panjang untuk memperkuat fundamental ekonomi, meningkatkan daya saing ekspor, dan menjaga kepercayaan investor. Krisis ini juga menjadi momentum bagi Indonesia untuk merefleksikan kebijakan ekonomi dan memperkuat ketahanan terhadap guncangan eksternal di masa depan. Pemerintah juga perlu mengupayakan Regulasi Konkrit dan bukan hanya sebatas penguatan retorika didepan Publik dalam menangani kejadian seperti ini. Ditambah, Melemahnya nilai tukar rupiah yang bahkan melampaui titik nadir Orde Baru menandakan bahwa Perekonomian dalam Negeri sedang tidak baik – baik saja dan bersiap masuk kedalam jurang degradasi jika hal semacam ini terus menerus berlarut tanpa penanganan serius.