Indonesia dan Eskalasi Perang Dagang Adidaya

Perang dagang yang terus memanas antara Amerika Serikat (AS) dan China telah menimbulkan ketegangan ekonomi global yang signifikan. Pada April 2025, AS memberlakukan tarif sebesar 104% pada impor dari China, yang segera dibalas oleh China dengan tarif 34% pada produk AS serta larangan ekspor bahan baku penting. Langkah-langkah ini telah mengguncang pasar keuangan global dan meningkatkan kekhawatiran akan perlambatan ekonomi dunia. ​

Gambar dari Kompasmoney

Bagi Indonesia, dampak dari perang dagang ini terasa dalam berbagai aspek. Dilansir dalam laman bisnis.com China merupakan salah satu mitra dagang utama Indonesia, dengan impor nonmigas dari China mencapai US$6,34 miliar pada Januari 2025, mencakup 40,86% dari total impor nonmigas. Ketegangan perdagangan antara AS dan China dapat menyebabkan perubahan dalam rantai pasok global, yang berpotensi mengganggu sektor manufaktur dan ekspor Indonesia. Untuk mengantisipasi hal ini, pemerintah Indonesia melalui Kementerian Perdagangan berupaya melakukan diversifikasi pasar guna mengurangi ketergantungan pada kedua negara tersebut. ​

Eskalasi yang perlahan meluas dan memancing reaksi dari Berbagai negara ini tentu menimbulkan Kegaduhan dunia Internasional. Jika ketegangan perdagangan ini terus berlanjut dan eskalasi tarif semakin meningkat, Indonesia berisiko menghadapi perlambatan pertumbuhan ekonomi. Gangguan pada rantai pasok global dapat menghambat produksi domestik, sementara penurunan permintaan dari mitra dagang utama dapat menekan sektor ekspor. Situasi ini dapat berujung pada peningkatan pengangguran dan inflasi, mengingat banyak industri di Indonesia bergantung pada bahan baku impor dan pasar

Gambar dari CNBC Indonesia

Penting untuk mencermati bahwa Indonesia pernah mengalami krisis ekonomi pada tahun 1997-1998 yang dipicu oleh faktor eksternal dan internal. Pada masa itu, depresiasi tajam nilai tukar rupiah terhadap dolar AS, ditambah dengan besarnya utang luar negeri sektor swasta yang mencapai US$72,5 miliar pada Maret 1998, menyebabkan banyak perusahaan bangkrut dan lonjakan inflasi. Krisis tersebut juga dipicu oleh ketidakstabilan politik dan kepanikan di pasar, yang memperburuk kondisi ekonomi nasional. ​

Gambar dari CNN Indonesia

Meskipun situasi saat ini berbeda, pelajaran dari krisis 1998 menekankan pentingnya pengelolaan ekonomi yang hati-hati dan diversifikasi pasar untuk mengurangi risiko eksternal. Indonesia perlu memperkuat fondasi ekonominya melalui peningkatan daya saing industri domestik, diversifikasi produk ekspor, dan perluasan pasar ke negara-negara non-tradisional. Selain itu, menjaga stabilitas politik dan kepercayaan investor menjadi krusial untuk mencegah terulangnya krisis ekonomi di masa depan.​

​Para akademisi dan pakar ekonomi di Indonesia telah mengemukakan berbagai pandangan mengenai dampak perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dan China terhadap perekonomian nasional. Mereka menyoroti bahwa, meskipun terdapat risiko penurunan ekspor akibat perlambatan ekonomi China, Indonesia memiliki peluang untuk mengisi kekosongan pasar yang ditinggalkan oleh produk-produk China di AS. Pakar Ekonomi dari Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Esther Sri Astuti menyatakan bahwa Indonesia dapat mengambil Peluang dari Pertikaian Ekonomi antara dua Negara Adidaya ini. Indonesia perlu meningkatkan daya saing produk ekspornya dengan menekan biaya produksi dan harga produk.

Gambar dari IDN Financials

Beberapa akademisi juga mengingatkan pemerintah untuk mengantisipasi dampak negatif perang dagang terhadap fiskal Indonesia. AS telah mengenakan tarif baru sebesar 32% terhadap berbagai komoditas ekspor Indonesia, termasuk tekstil, sepatu, minyak sawit, udang, ikan, dan peralatan elektrik. Langkah ini berpotensi menurunkan daya saing produk Indonesia di pasar AS dan mempengaruhi pendapatan negara dari sektor ekspor.

Dalam menghadapi situasi ini, para pakar ekonomi menyarankan beberapa langkah strategis yang dapat diambil oleh Indonesia. Pertama, pemerintah perlu mendorong diversifikasi pasar ekspor untuk mengurangi ketergantungan pada pasar tradisional seperti AS dan China. Kedua, meningkatkan kualitas dan efisiensi produksi domestik agar produk Indonesia lebih kompetitif di pasar global. Ketiga, memperkuat perjanjian perdagangan multilateral dan bilateral untuk membuka akses pasar baru dan memperluas jaringan perdagangan internasional. Selain itu, pemerintah diharapkan dapat memanfaatkan momentum perang dagang ini untuk menarik investasi asing langsung (FDI) yang tengah mencari lokasi baru akibat relokasi pabrik dari China. Dengan menciptakan iklim investasi yang kondusif dan menyediakan insentif bagi investor, Indonesia berpotensi menjadi tujuan utama bagi perusahaan yang ingin merelokasi operasinya. ​Dengan menerapkan langkah-langkah tersebut, diharapkan Indonesia tidak hanya mampu memitigasi dampak negatif dari perang dagang AS-China, tetapi juga memanfaatkan peluang yang muncul untuk memperkuat perekonomian nasional dan meningkatkan daya saing di kancah internasional.